Bila rasa tak lagi bisa ku peram . . Bila maksud tak lagi mampu ku peta . . Bila desakan tak lagi dapat ku jeda . .

Jumat, 24 Desember 2010

Asy'ariyyah, Tokoh dan Pokok-Pokok Keyakinannya

Sudah menjadi sunnatulloh bahwa perpecahan dalam Islam itu pasti terjadi. Dalam sebuah hadits dikatakan, “Rosululloh SAW bersabda: kaum Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan, kaum Nashroni terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan, dan ummatku akan terpecah pula menjadi tujuh puluh tiga golongan.”. hadits ini memiliki banyak riwayat sehingga saling menguatkan, pastinya tidak ada keraguan sedikitpun tentang makna yang dikandungnya. Saat ini bisa kita lihat realitasnya. Islam terpecah – pecah menjadi ke banyak golongan dengan pemikiran yang berbeda – beda. Tetapi, sebab perbedaan atau perpecahan itu dapat diurai.
Dalam kitab “Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam”nya Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah. Beliau menjelaskan sebab – sebab perbedaan hanya ke dalam 6 sebab, bukan dimaksudkan untuk membatasi melainkan karena saking banyaknya sebab – sebab tersebut. Yang pertama, objek kajian yang masih gelap. Analoginya seperti beberapa orang buta yang meraba seekor gajah. Yang meraba kakinya menganggap bahwa gajah itu tinggi dan bulat; yang meraba bagian atasnya mengatakan bahwa gajah itu seperti bukit tinggi; yang meraba telinganya mengatakan bahwa gajah itu lebar. Masing – masing berpendapat sesuai dengan objek yang ditangkapnya. Kedua, perbedaan keinginan, kecenderungan dan kepribadian. Seorang Spinoza mengatakan, “keinginanlah yang membuat kita melihat sesuatu menjadi penting, bukan hati nurani.” Hampir senada dengan Spinoza, William James mengatakan, “sesungguhnya sejarah filsafat adalah sejarah pertentangan antar kecenderungan yang berbeda – beda. Perbedaan kecenderungan itu berpengaruh di dalam lapangan sastra, seni dan filsafat.”. Ketiga, perbedaan orientasi. Orientasi hidup seseorang membentuk metode berpikir sesuai dengan orientasi itu. Di dalam Rosail ikhwan al-shafa, jilid III, ditemukan ungkapan sebagai berikut: Tolak ukur mempunyai bentuk dan corak yang berbeda-beda sesuai dengan prinsip-prinsip profesi, ilmu, dan kaidahnya. Misalnya, tolak ukur para ahli fiqh tidak serupa dengan tolak ukur para dokter; tolak ukur ahli astronomi berbeda dengan tolak ukur ahli nahwu dan ilmu kalam; serta tolak ukur ahli filsafat dan mantiq tidak sama dengan tolak ukur tukang debat. Demikian pula tolak ukur mereka dalam masalah-masalah fisika dan ketuhanan berbeda-beda. Apabila tolaak ukur para ahli itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orientasi ilmiah masing-masing, walaupun objek kajian mereka sama, maka akan tetap terjadi perbedaan di antara mereka karena masing-masing berpikir dengan metode ilmiah yang berbeda-beda. Keempat, bertaklid kepada para pendahulu. Pada pembahasan ini, penulis menjelaskan menurut sudut pandang penulis. Ketika seseorang mengikuti-atau di bukunya Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah ini disebut dengan taklid-para pendahulunya sedang yang lain tidak maka sudah barang tentu perbedaan pandangan dan pendapat acapkali terjadi. Kelima, perbedaan kapasitas intelektual. Ada seseorang yang mampu mencapai hakikat objek kajian; ada yang hanya mampu mencapai satu bagiannya saja; lalu berhenti; ada yang selalu berangan-angan; ada pula yang tersesat oleh khayalan dalam belantara pemikiran tradisional. Dalam rosail ikhwan al-shafa lagi dikemukakan sebagai berikut: anda akan menemukan manusia yang baik imajinasinya; tajam pengamatannya dan kuat ingatannya; banyak pula yang lemah dalam berpikir, buta hati dan lemah ingatannya. Ini juga merupakan salah satu penyebab para ulama berbeda pendapat dan madzhab. Apabila kapasitas intelektual mereka berbeda, maka pemikiran dan keyakinan mereka akan berbeda. Keenam, cinta kekuasaan. Berapa banyak madzhab yang lahir dengan tujuan politik. Hingga ujung-ujungnya pendapatnya hanya akan berakhir pada masalah politik saja, dalam hal ini perebutan kekuasaan lah yang menjadi target, contohnya Syi’ah.

Dalam rangkuman makalah saya ini terdapat beberapa rumusan masalah yang kiranya dapat membantu mengefisienkan ruang dan waktu, antara lain :
1.Apa itu Asy’ariyyah ?
2.Siapa sajakah tokoh – tokoh dibalik Asy’ariyyah ?
3.Bagaimana pokok pikiran dan keyakinan Asy’ariyyah ?
4.Lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang kelompok ini ?

1. Apa itu Asy’ariyyah
Asy’ariyyah atau Asya’iroh adalah sebuah firqoh (kelompok perpecahan kecil_red) filsafat Islam, yang dinisbatkan kepada Abu Hasan al Asy’ari yang telah keluar dari mu’tazilah. Firqoh ini mengambil bukti-bukti dan dalil-dalil akal dan filsafat sebagai sarana dalam berargumen khususnya terhadap mu’tazilah, kelompok filsafat lain dan sebagainya, dalam penetapan kebenaran-kebenaran dien Islam dan ‘aqidah Islam melalui jalan ibn Kullab.
Sedang pelopor dan tokoh – tokoh penting dalam sekte ini adalah sebagai berikut :
1.Abu Hasan Al Asy’ari sebagai pelopor faham Asy’ariyyah
2.Hakim Abu Bakar Al Baqillani
3.Imam Al Ghozali
4.Abu Ishaq Al Syayrozi
5.Abu Ishaq Al Isfaroyini
6.Imam haromain, Abul Ma’ali al Juwayni
7.Imam al Fakhrur Rozi.

Yang akan saya bahas hanya Abu Hasan al Asy’ari, Abu Bakar Al Baqillani dan Imam Al Ghozali.
Tokoh 1 : Abu Hasan Al Asy’ari
Siapa Beliau
Nama beliau adalah Ali bin Ismail bin Abi Sisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdilah bin Musa bin Amir Bashroh Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al Asy’ari Abdulloh bin Qois bin Hadhor Al Asy’ari Al Yamani, Sahabat Rasulullah SAW. Populer dengan nama Abu Hasan Al Asy’ari. Dilahirkan di Basroh lalu menetap di Baghdad setelah melepas faham Mu’tazilah. Tahun kelahirannya diperselisihkan, namun mayoritas sejarawan menetapkan tahun 260 H, sebagaimana di tetapkan oleh Adz- Dzahabi, dan wafat tahun 324 H. di Baghdad.
Perlu diperhatikan bahwa beliau menjalani tiga fase kehidupan.
Fase Kehidupan Abu Hasan Al Asy’ari :
1. Fase Awal
Beliau mengikuti faham Mu’tazilah. Karena sejak kecil sampai umur empat tahun dalam naungan didikan bapak tirinya, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al Juba’I (wafat 303 H. seorang tokoh Mu’tazilah, seperti dikisahkan oleh Ibnu Nadim (wafat 385 H).”Awalnya beliau adalah berfaham Mu’tazilah lalu bertobat dari faham tersebut dengan berpidato di masjid jam’i di Bashroh pada hari Jum’at. Beliau naik kursi dan bersuara lantang: “siapa yang telah mengenalku berarti dia telah betul– betul mengenalku, dan siap yang belum pernah mengenalku maka saya mengetahui diri saya sendiri. Saya adalah Fulan bin Fulan. Saya dulu berpendapat bahwa al Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat dengan mata (pada hari Kiamat). Dan perbuatan jelek itu saya sendiri yang berbuat (Allah tidak berperan) sekarang saya taubat dan melepas keyakinan tersebut untuk membantah faham Mu’tazilah” lalu beliau turun dan keluar, meninggalkan kejelekan dari aib mereka” (al Fahrosat, hal 257) Ibnu ‘Asakir menambahkan:”wahai seluruh manusia, saya menghilang dari hadapan kalian beberapa waktu karena saya mendapati beberapa dalil dan belum bisa membedakan mana yang hak dan yang batil. Lalu saya meminta petunjuk kepada Allah dan Allah memberikan petunjuk-Nya, untuk meninggalkan semua yang kutulis di buku–buku saya. Maka saya ditinggalkan semua yang dulu saya yakini seperti saya melepaskan baju saya ini” lalu beliau melepaskan bajunya dan melemparknya. (Tabyiini Kadzibil Muftari, hal 39) Adapun sebabnya ada dua, seperti disebutkan Ibnu Asakir, pertama: bermimpi melihat Rasulullah SAW kata Abul Hasan Al Asy’ari: penyebab saya keluar dari faham Mu’tazilah adalah saya bermimpi melihat Rasulullah pada awal bulan Ramadhan, Kedua: pertanyaan yang disodorkan kepada para gurunya, tetapi mereka tidak mampu menjawab “(Tabyiin hal. 38 – 42)
2. Fase kedua
Setelah keluar dari faham Mu’tazilah beliau menganut faham Kullabiyah, yang dimotori oleh Abdulloh bin Sa’id bin Kullab al Bashri. Mulailah beliau membantah golongan Mu’tazilah dengan berpijak kepada faham Kullabiyah ini. Ibnu Taimiyah berkata: “Abul Hasan Al Asy’ari dahulunya adalah seorang Mu’tazilah, ketika keluar darinya dia mengikuti faham Muhammad bin Kullab” (Majmu‘Fatawa 5 /556) hal ini diakui pula oleh Ad Dzahabi dan selainnya (lihat Siyar A’laminubala 2/228) mengenai Ibnu Kullab, Ibnu Taimiyah berkata: “Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, Mu’tazilah dan firqoh lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat–sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul hadits dan sunah, namun masih termuat cara–cara bid’ah. Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah dikarenakan mereka menolak sifat dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi). Sarat dengan hujjah dan dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang dikemukakan itu menyapu bersih syubhat Mu’tazilah. Dan ini membantu bagi kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan bagi orang yang muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang menafikannya. Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan yang dibantahnya masih ada persamaan dalam kaidah–kaidah pokok. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka munculkan. Menjadi batil dilihat dari kaca mata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah SAW “. (Majmu’fatwa 12/ 366). Lanjut beliau :”…namun tatkala Muhammad bin Kullab berbicara dan berdialog dengan Mu’tazilah menggunakan cara berfikir Qiyas (analogi), dia menerima kaidah yang dicipta oleh Mu’tazilah yaitu menolak bahwa Allah berbicara dengan huruf, melekatnya sifat–sifat ikhtiariyah yang berkaitan dengan kehendak/ kekuasaan Allah berupa perbuatan, kalam dan selainnya. Dengan beranggapan bahwa penetapan sifat ikhtiariyah itu berkonsekuensi: Allah mempunyai sifat yang hadits (baru), padahal sesuatu yang tidak terbebas dari sifat hadits berarti dia hadits (baru). Implikasinya dia berpendapat bahwa kalam Allah itu hanya berupa makna, dan huruf (ketika Allah berbicara) tidak termasuk kalam Allah. Pendapat ini diikuti oleh Abul Hasan Al Asy’ari”(Majmu’Fatawa 12/366) Disinilah Abul Hasan Al Asy’ari tidak menyadari. Ketika Ibnu Kullab membantah Mu’tazilah dan menetapkan sifat Lazimah Allah sifat yang selalu melekat pada dzat Allah (dia juga menafikan sifat–sifat ikhtiariyah Allah seperti sifat ridho, marah, benci senang dan lain– lainnya. Memang dalam penetapan sifat lazimah ini Ibnu Kullab mencocoki madzhab Ahlususunnah seperti sifat Hidup, Ilmu, Qudroh dan lainnya namun juga menyelisihinya dengan menolak sifat Ikhtiyariyah tadi. Sehingga bisa dikatakan dia membentuk madzhab baru yang sebagiannya sesuai dengan madzhab ahlussunnah dan sebagiannya menyelisihinya. Berikut ini metode penetapan sifat Ibnu Kullab yang diikuti oleh Abu Hasan Al Asy’ari :
1. Menetapkan sifat lazimah, semisal : Ilmu, Qudrah
2. Menafikan sifat ikhtiariyah yang berkatian dengan Masyi’ah (kehendak) dan Qudrah Allah.
3. Kalam Allah adalah makna yang melekat tersimpan pada dzat (dalam ungkapan kita: ungkapan yang masih terpendam di hati), jika diungkapkan dengan bahasa Arab disebut al Qur’an, bila dalam bahasa Ibrani disebut Taurat, dalam bahasa Suryaniyah disebut Injil.
4. Al Qur’an bukanlah kalam Allah tetapi kalam Jibril atau yang lain, Jibril mengungkapkan makna yang tersimpan dalam dzat Allah dengan ungkapan dia sendiri.
5. Menafikan Allah bersifat senang, ridho kepada kaum mukminin setelah mereka beriman, dan memurkai kaum kafirin setelah mereka kafir. Adapun ahlussunnah wal jama’ah atau salafiyah menetapkan seluruh sifat ikhtiariyah yang Allah tetapkan bagi diri-Nya tanpa ditakyif, tamtsil, tahrif dan ta’thil, sebagai contoh, Allah beristiwa di atas arsy, Allah turun, datang dan lainnya. Allah juga bersifat marah, senang, murka, ridho dan sifat lainnya yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Allah juga berbicara, namun kalam Allah adalah qodimun nau’ dan haditsul aahad, maksudnya adalah selalu bersifat bicara (sifat kalam ini selalu melekat pada Allah), dan kalam perkalamnya adalah baru, kalam Allah kepada Adam bukanlah kalam-Nya kepada Nuh, kalam-Nya kepada Nuh bukanlah kalam-Nya kepada Ibrohim, juga bukan pula kalam- Nya kepada Muhammad SAW dan seterusnya.
3. Fase ketiga
Setelah sekian lama bergelut dengan faham Kullabiyah, meyakini dan menyebarkannya, beliau sadar dan kembali kepada manhaj yang benar, manhaj salaf ahlussunnah wal jama’ah dengan menisbatkan diri kepada imam Ahmad bin Hanbal karena hidayah Allah, kesadaran dan kembalinya beliau ke manhaj Ahlussunnah wal jama’ah dibuktikan dengan tiga hal :

Bukti kembalinya beliau kepada Manhaj Ahlussunnah
1.Perkataan Para Ulama
Banyak sekali ulama yang mempersaksikan kembalinya Imam Abul Hasan Al Asy’ari kepada madzhab salaf Ahlusunnah wal jama’ah, persaksian mereka itu diikrarkan setelah meneliti kehidupan Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Diantara mereka adalah:
a.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
b.Imam Abnul Qoyyim
c.Imam Ad Dzahabi
d.Imam Ibnu Katsir, beliau berkata: “Mereka (para ulama) menyebutkan tiga fase kehidupan Abu Hasan Al Asy’ari, Fase pertama, berfaham Mu’tazilah. Fase kedua: penetapan sifat tujuh yaitu hayat, ilmu, qudroh, irodah, sam’u, bashar, dan kalam dengan berdasarkan kaidah akal. Adapun sifat Khobariyah, seperti wajah, dua tangan, kaki, betis dan lainnya dita’qil (ditahrif). Fase ketiga, menetapkan semua sifat khobariyah tadi dengan tanpa ditakyif dan tasybih menurut faham salaf. Inilah metode yang beliau tempuh seperti dijabarkan dalam kitab al Ibanah, karya terakhir beliau” (Ithaf Sadatil Muttaqin, Murtadho Az- Zabidi, 2/5 cet. Darul Fikr).
e.Syaik Nu’man Al - Alusi
f.Syaikh Abul Ma’ali Mahmud Al Alusi
g.Al Allammah Muhibudiin Al Khotibb, beliau berkata: “Abul Hasan Al Asy’ari Ali bin Ismail termasuk pembesar imam ahlu kalam dalam Islam. Pada awal kehidupannya dia menganut faham Mu’tazilah, dengan berguru kepada Abu Ali Al Jubba’I kemudian Allah menyadarkannya ketika beliau menginjak usia paruh baya dan awal kematangannya. Beliau mengumumkan kesadaran/Keinsyafannya dan membeberkan kesesatan faham Mu’tazilah. Pada fase ini beliau banyak menulis, berdebat dan mengajar dengan membantah faham Mu’tazilah berlandaskan metode jidal (debat) ta’wil (tahrif) dan metode salaf. Akhirnya beliau benar–benar kembali ke manhaj salaf dengan mengitsbatkan semua perkara–perkara ghoib (termasuk sifat–sifat Allah) yang wajib diimani oleh para hamba-Nya dengan berdasarkan pada Nash ( al Qur’an dan Hadits) buktinya beliau menulis kitabnya yang paling akhir yang sudah banyak dibaca orang yaitu Al Ibanah. Para penulis biografi beliau memastikan bahwa al Ibanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abu Hasan. Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Adapun yang menyelisihi hal di atas dan dinisbatkan kepada beliau atau apa yang diada-adakan oleh Asy’iroh, sesungguhnya Abul Hasan Al Asy’ari telah menyadari bahwa itu salah dan beliau telah meninggalkannya serta kembali ke manhaj salaf ahlussunah wal jama’ah seperti yang ditulis dalam kitab al Ibanah dan kitab lainnya”. (Lihat komentar no. 2 pada Muntaqo Minhajul I’tidal milik Adz Dzahabi).
2.Perjumpaan Beliau Dengan Al Hafidz Zakaria As-Saaji
Setelah Abul Hasan Al Asy’ari melepas faham Mu’tazilah dan Kullabiyah, mulailah beliau menemui para imam ahlul hadits yang selamat aqidahnya guna mengambil dan mengikuti metode yang ditempuh oleh mereka. Yang paling mashyur adalah pertemuannya dengan ahli hadits negri Bashrah Al Hafidz Zakaria As-Saaji. Para ulama begitu memperhatikan pertemuan ini karena merupakan point penting seputar keterusterangan Abul Hasan Al Asy’ari untuk kembali ke manhaj salaf dan dan penisbatannya kepada Ahmad bin Hanbal. Ibnu Taimiyah berkata: “Abu Hasan Al Asy’ari mengambil dasar–dasar ilmu hadits dari Zakaria as-Saaji di Bashrah lalu setelah datang ke Baghdad menimba ilmu lainnya dari pada ulama Hanbaliyah. Ini adalah fase terakhir dikehidupannya seperti disebutkan oleh para sahabatnya (muridnya) di kitab mereka” (Majmu Fatwa 3/ 288). Kata Ibnu Taimiyah selanjutnya; “Abul Hasan Al Asy’ari mengambil ushul (pokok–pokok) ahlussunah dan hadits dari Zakaria As-Saaji. Hal ini banyak dijumpai di kitabnya Maqolatul Islamiyyin. Dia menyebutkan pendapat imam ahlussunnah sebagaimana juga pendapat Hammad bin Zaid bahwa Allah berada di atas arsy dan dia mendekat kepada hamba-Nya sekehendak-Nya” (Majmu’ Fatawa 5/ 386) Imam Adz–Dzahabi sangat menaruh perhatian terhadap pertemuan dua orang ini. Ketika Adz-Dzahabi menulis biografi As-Saaji beliau berkata: “Abul Hasan Al Asy’ari mengambil dari Al Hafidz As-Saaji perkataan ahlul hadits dan salaf“. (Tadzkirotul Hufadz 2/709). Pada syiar A’lamun Nubala’ 14/198, Ad Dzahabi berkata: “Abul Hassan Al Asy’ari mengambil dari Al Hafidz as-Saaji perkataan salaf dalam masalah sifat– sifat Allah. Lalu dijadikan pijakan dalam kitab–kitabnya”. Termasuk ulama yang memastikan adanya pertemuan antar Al Hafidz As-Saaji dengan Abul Hasan Al Asy’ari adalah dua orang imam: Ibnul Qoyyim dan Ibnu Katsir (lihat Ijtima’u Juyus Islamiyah hal 97, Al Bidayah Wan Nihayah 11/131 dan Ghoyatul Amani oleh AL Alusi 1/480)
3.Penulisan Kitab Al Ibanah dan Pemastian Bahwa Kitab Itu Karya Beliau
Banyak sekali ulama yang memastikan bahwa kitab al Ibanah merupakan karya terakhir Abu Hasan AL Asy’ari, baik ulama terdahulu atau yang belakangan, yang paling dekat masa hidupnya dengan Abu Hasan adalah Ibnu Nadim, dalam kitabnya, Al Fahrosat hal. 257,Ibnu Nadim menyebutkan biografi Abu Hasan dan karya–karyanya. Di antara karyanya adalah kitab At–Tabyiin an Ushulludin. Setelah itu Ibnu Asakir, beliau membela Abu Hasan dan memastikan bahwa kitab al-Ibanah adalah kitab karya Abu Hasan, lalu Ibnu Asakir menyebut–nyebut dari kitab Al Ibanah dalam kitabnya At Tabyiin untuk memuji akidah Abu Hasan al Asy’ari, Ibnu Asakir berkata: “Karya Abu Hasan Al Asy’ari telah masyhur di kalangan ulama, menurut ulama peneliti, kitab tersebut sangat baik dan benar, siapa yang meneliti kitab al Ibanah niscaya mengerti isinya yang sarat dengan ilmu dan ketaatan”. (Tabyiin Kadzabul Muftari, hal 28) disebutkan bahwa Imam Abu Utsman as-Shobuni tidak akan keluar ke majlis kecuali membawa kita Al Ibanah karya Abul Hasan Al Asy’ari, beliau sangat terkesan dengan kitab itu, hingga berujar: “apa–apa yang dingkarkan kepada saya tentang isi kitab ini maka akan terbongkarlah madzab orang tersebut” Lalu Ibnu Asakir berkomentar: “Ini adalah ucapan Imama Abu Utsman, sedang dia adalah tokoh ahli hadits di Khurosan” (Tabyiin Kadzbul Muftari, hal 389) Berikutnya, Ibnu Darbas (wafat 659 H) mengarang sebuah kitab untuk membela Abu Hasan Al Asy’ari dan memastikan bahwa kitab al Ibanah adalah karya Abu Hasan. Dia berkata:“Adapun sesudah itu, ketahuilah wahai saudara–saudara, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada kita menapaki dien yang lurus dan untuk meniti jalan lurus, sesungguhnya kitab al Ibanah An Ushulid Diyanah buah karya imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al Asy’ari adalah kitab dimana akidah beliau tertancap mantap padanya. Dan dengannya beliau beribadah kepada Allah setelah melepas paham I’tizal (Mu’tazilah) karena karunia Allah dan kelembutan-Nya, adapun perkataan yang muncul sekarang dan dinisbatkan kepada beliau namun menyelisihi akidahnya, beliau telah meninggalkannya dan beliau minta pembebasan kepada Allah dari perkataan tersebut. Bagaimana tidak, beliau telah menyatakan bahwa akidah tersebut adalah keyakinannya guna beribadah kepada Allah. Dan dia telah meriwayatkan dan memastikan keyakinan sahabat, Tabi’in para imam ahlul hadits yang telah berlalu, dan ucapan Ahmad bin Hanbal– semoga Allah merohmati mereka semua. Tambahan lagi keyakinan itu telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Sunah Rasul-Nya. Apakah mungkin beliau kembali kepada kayakinan lain? Lalu kepada apa beliau kembali? Mungkinkah beliau berpaling dari kitab dan Sunnah, menyelisihi pemahaman sahabat Tabi’in dan para imam hadits yang telah lalu? Padahal telah diketahui bahwa itulah madzab beliau dan beliau sendiri telah meriwayatkan dari mereka (imam ahlul hadits, tabi’in dan sahabat). Demi Allah, ini tidak patut dinisbatkan kepada orang awam apalagi kepada pemuka agama ini! Sekelompok imam dunia, para fuqoha Islam, imam ahli Qiro’at, ahli Hadits dan selain mereka telah menyebut kitab Al Ibanah ini, mereka jadikan pijakan dan pastikan bahwa kitab ini karya Abu Hasan Al Asy’ari, mereka juga memujinya, membersihkanya dari bid’ah–bid’ah yang dinisbatkan kepada beliau. Dan menukil perkataan beliau dari Al Ibandah dalam tulisan tulisan mereka”. (Risalatul Dzahabbi An Abil Hasan al Asy’ari, hal 107, peneliti Dr. Ali bin Nashir Al Fakihi). Kemudian Ibnu Darbas Menyebutkan nama–nama mereka:
1.Imam ahli Qiro’at Al Qur’an, Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Ibroihim Al Farisi (wafat 446)
2.Al Hafidz Abu Utsman As Shobuni (wafat 449H)
3.Al Faqih Al Hafiz Aabu Bakr Al Baihaqi (wafat 458 H)
4.Imam Abul Fath Nashr Al Maqdisi (wafat 490H)
5.Al Faqih Abul Ma’ali Mujalli, penyusun kitab Ad Dzakhooir (wafat 550H) Ulama lainnya yang tidak disebutkan Ibnu Darbas semisal:
1.Imam Ibnu Taimiyah
2.Al Hafiz Ad Dzahabi, beliau berkata: “Kitab al Ibanah adalah termasuk karangan Abu Hasan yang termasyhur. Dipopulerkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dan dijadikan rujukan dan disalin oleh Imam Nawawi”. (Mukhtashor Al Uluw, hal 239)
3.Imam Ibnul Qoyyim
4.Al Hafidz Ibnu Katsir.
5.Al Allmah Ibnu Farhun Al Maliki (wafat 799)
6.Dan masih banyak lagi

Tokoh 2 : Al Baqillani
Abu Bakr Muhammad ibn al -Tayyib ibn Muhammad ibn Ja’far ibn al –Qasim al Baqillani(w. 403H/1013M); seorang imam dan hakim terkenal kelahiran Basra dan menetap di Baghdad.
Al Baqillani dikenal sebagai seorang ulama bermadzhab Maliki dan cendekiawan yang ulung. Karyanya banyak membahas aliran-aliran sesat yang berkembang di masanya, seperti Rafidhah, Mu'tazilah, Khawarij, Jahamiyah dan Karamiyah. Di masjid Basra, beliau membina halaqah kajian yang dijubeli para pecinta ilmu.
Sebagai ulama yang produktif, setiap harinya, beliau menulis 35 lembar dari buku yang hendak dikarangnya. Tidak mengherankan jika di saat wafatnya, Sheikh Abu l-Fadhl al-Tamimi (w. 410H), ulama terkemuka dan pemimpin mazhab Hanbali kala itu, berseru di samping jenazahnya: "Orang ini adalah pembela al-Sunnah dan agama, serta pejuang shari'ah. Orang inilah yang menulis 70.000 lembar buku sepanjang hidupnya". Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa beliau adalah mutakallim (theologian) yang paling utama dalam aliran al-Asha’irah (Asy’ariyah).
Ibn ‘Asakir berkata: "Sesungguhnya Sheikh Abu al - Qasm ibn Burhan al-Nahwi berkata: Barang siapa pernah menghadiri halaqah perdebatan al-Qadhi Abu Bakr, maka dia tidak akan pernah merasakan lagi indahnya perkataan seorang pun setelahnya, baik dari ulama kalam, ulama fiqh, orator, penyair maupun penyayi sekalipun, dikarenakan tutur bahasanya dan kefasihannya yang menakjubkan dan sistematis."
Di antara hasil pemikiran beliau yang paling utama adalah peletakan premis-premis rasional untuk membangun argumentasi temporalnya alam dan sifat-sifat wajib Allah, kemudian premis-premis ini dikembangkannya hingga menjadi teori khas dan dikenal sebagai metode kalam para mutakallim klasik. Teori tersebut disebut mabda' al-ta’akus bayna l-dalil wa l-madlul (an inversion between thing and meaning).
Al Baqillani meninggalkan sekitar 52 karya, di antaranya adalah al-Insaf fi ma yajibu I'tiqaduhu wa la yajuzu l-jahlu bihi. Menilik dari judulnya, buku tersebut ditujukan untuk masyarakat awam dan bersifat populer, yang menjelaskan tentang apa yang wajib diyakini oleh umat dan tidak boleh untuk tidak diketahui (diabaikan).

Tema-tema yang dibahas sangat mendasar; seperti:
Muqaddimah
Wujub al-nazhar (kewajiban berfikir/menalar)
Alam itu fana
Keesaan Pencipta
Sifat Hayat
Sifat Qudrah
Sifat Ilmu
Sifat Iradah
Sifat Sam'un
Sifat Kalam
Sifat Baqa'
Semua yang fana adalah makhluk
Perbedaan antara Iradah dan Masyi'ah
Kasbul 'Ibad (usaha manusia)
Arzaqul 'Ibad (rizki manusia)
Islam dan Iman
Khairul Ummah
Syuruthul imamah (syarat pemimpin)
Kalamullah (Firman Allah)
Ru'yatullah (melihat Allah)

Di sisi lain, Al Baqillani seorang yang menyaring berbagai kajian yang pernah dilakukan al Asy’ari. Ia berbicara tentang premis – premis dalil rasional mengenai tauhid. Ia berbicara mengenai jauhar dan ardh. Ardh tidak dapat bertempat sama dengan ardh, ia tidak dapat berada pada dua masa atau seterusnya.
Pernyataan al baqillani tersebut jelas merupakan sikap ekstrem, sebab premis rasional tidak pernah disebutkan di dalam al quran maupun sunnah, ruang geraknya luas dan pintunya terbuka lebar

Tokoh 3 : Al Ghozali
Wafat tahun 505 H. Tampil sesudah Al-Baqilani. Tidak menyerukan apa yang diserukannya. Pendapat Al-Ghazali, Agama menyeru kepada akal, orang wajib mempercayai Al-Qur’an dan Sunnah serta menetapkannya dengan berbagai dalil yang dikehendakinya.
Pada hakikatnya Al-Ghazali tidak mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari. Ia justru melakukan pengkajian secara liberal dan intensif, tidak seperti pengkajian orang-orang yang bertaqlid. Ia kebetulan sependapat dengan Asy’ari dalam berbagai kesimpulan juga berbeda pendapat dalam hal yang mereka pandang wajib yang diikuti. Itulah sebabnya banyak diantara pendukung Al-Asy’ari yang menuduhnya kafir dan penganut paham zindik. Bacalah apa yang dikatakan imam Al Ghozali dalam kitabnya, Faishol al Tafriqoh Bain al Islam wa al Zandaqoh. Dalam risalah itu disebutkan :
“Saya melihatmu, wahai saudaraku yang baik dan teman yang fanatik, sebagai orang yang berhati panas dan berpikiran kacau. Kamu mendnegar kririkan sekelompok orang yang merasa dengki terhadap sebagian kitab yang saya susun mengenai rahasia perilaku keagamaan, dan menduga bahwa di dalamnya terdapat pendapat yang berbeda dengan madzhab rekan –rekan sealiran yang terdahulu dan para Syaikh yang telah bersusah payah. Lalu, karena menyimpang dari madzhab Al Asy’ari, sekalipun hanya sedikit saj, pendapat saya itu dianggap merupakan kekafiran, kesesatan dan kejahatan.
Ringankanlah hatimu, wahai teman yang baik dan fanatik, janganlah hatimu menjadi sempit karenanya. Hilangkan sikap anehmu. Tabahlah terhadap apa yang mereka katakan. Jauhilah mereka dengan cara yang baik. Rendahkanlah hatimu menghadapi orang yang tidak dengki dan berprasangka buruk. Pandanglah kecil orang yang tidak mengenali kekufuran dan kesesatan. Siapakah penyeru yang lebih paripurna dan lebih rasional daripada pemimpin para Rosul, Nabi Muhammad? Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa beliau termasuk orang gila. Perkataan manakah yang lebih agung dan lebih benar dibanding firman Alloh? Mereka telah menuduh bahwa firman Allohmerupakan cerita kegenda orang-orang kuno.
Bicaralah pada dirimu sendiri dan pada temanmu. Mintalah supaya dia mendefinisikan kekufuran. Jika dia mengatakan bahwa kufur ialah sesuatu yang berbeda dengan pendapat Asy’ari, Mu’tazilah, Hanbali, atau lainnya, maka ketahuilah bahwa ia adalah seorang penipu yang bodoh. Ia telah terbelenggu oleh taklid. Ia lebih buta daripada orang yang buta matanya. Maka janganlah kamu membuang-buang waktu untuk bersikap baik kepadanya. Cukuplah bagimu dakwaan musuh sebagai hujjah untuk membungkam dakwaannya karena ia dapat menemukan antara perbedaan dirinya sendiri dan orang lain yang bertentangan dengannya.
Barangkali temanmu itu cenderung kepada madzhab Al Asy’ari dibandingkan madzhab-madzhab lainnya. Ia mengira bahwa berbeda dengan madzhab ini adalah segala hal yang dapat mengakibatkan kufur. Maka tanyakanlah kepadanya, darimana ia memperoleh suatu kepastian bahwa kebenaran tergantung kepada Al Asy’ari saja, sehingga ia berani mencap al Baqillani kafir hanya kerana ia berbeda pendapat dengan Asy’ari mengenai sifat baqo’ Alloh? Al Baqillani berpendapat bahwa baqo’ Alloh bukanlah sifat yang berada di luar DzatNya.........................................[penulis skip karena dianggap tidak penting].
Perbedaan antara Al Baqillani dan Al Asy’ari adalah perbedaan tentang lafazh, bukan tentang hakikat lafazh yang ada dibalik pendapatnya itu. Kedua pendapat Al Asy’ari dan Al Baqillani tentang sifat Baqo’ mengacu kepada keabadian wujudNya, sedangkan perbedaan pendapat mengenai apakah hal itu mengacu kepada dzat atau sifat tambahan dzat merupakan perbedaan yang dekat, tidak kontras. Jika demikian, mengapa dia mengkritik dengan keras Mu’tazilah yang menafikan sifat Tuhan sedangkan mereka mengakui bahwa Alloh Maha Mengetahui dengan pengetahuan nya meliputi segalanya, dan Maha Kuasa atas segala hal yang mungkin? Mu’tazilah berbeda dengan Asy’ari dalam hal: Apakah Alloh Maha Mengetahui dan Maha Kuasa dengan DzatNya atau sifat tambahan atas Dzat itu. Jika demikian apakah yang memisahkan antara dua perbedaan pendapat itu?”
Risalah ini memperlihatkan bagaimana al Ghozali mengkaji persoalan ‘aqidah dengan penalaran yang bebas dan terlepas dari taklid. Ia sama sekali tidak bertaklid kepada slaah seorang imam dan tidak mengikuti salah satu madzahab ‘aqidah yang berkembang saat itu, sekalipun ia akhirnya sampai pada kesimpulan yang dekat dengan apa yang dicapai Asy’ari.

Pokok – pokok pemikiran dan keyakinan Asy’ariyyah
Di dalam Al Mausu’ah Al Muyassaroh, pokok atau prinsip pemikiran dan keyakinan Asy’ariyah yang bertentangan dengan ahlussunnah diringkas menjadi 18 point, yaitu :
1.Sumber talaqqi Asy’ariyyah adalah Al Quran, As sunnah sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu kalam. Makanya mereka lebih mengedepankan akal dari naqli saat keduanya bertentangan
2.Tidak mengambil hadits ahad di dalam masalah ‘aqidah karena hadits ahad tidak berdasar ilmu yakin tetapi tidak dilarang menggunakannya dalam masalah sam’iyyah atau pada masalah yang tidak bertentangan dengan aturan – aturan akal. Sedang hadits mutawatir harus dita’wil.

Asy’ariyyah membagi pokok – pokok ‘aqidah mereka berkenaan dengan sumber talaqqi menjadi 3 bagian :
1.Bagian sumber ‘aqidah hanya akal saja
2.Bagian sumber ‘aqidah mencakup akal dan dalil naqli bersamaan, contoh : ru’yah
3.Bagian sumber ‘aqidah yang berasal dari dalil naqli semata yang berhubungan dengan keghoiban-keghoiban, contoh : masalah akhirat, adzab kubur, shiroth, mizan,

3.Asy’ariyyah dalam masalah wujudnya Alloh bertentangan dengan madzhab ahlussunnah. Mereka sepakat bahwa sesuatu yang tercipta haruslah ada yang menciptakan sebelumnya.
4.Asy’ariyah mengingkari sifat ridho, marah, bersemayamnya Alloh.
5.Mereka mengingkari sifat tangan, wajah, mata Alloh dan yang sejenisnya.
6.Dalam masalah iman, Asy’ariyah berada di antara Murjiah dan Jahmiyah. Murjiah mengatakan cukup Iman itu dengan mengucapkan kalimat syahadat tanpa amal sebagai bukti dari kebenaran imannya. Sedang Jahmiyah meyakini bahwa iman itu cukup hanya percaya di dalam hati saja. Ini menyelisihi Ahlusunnah wal Jama’ah yang bersepakat bahwa iman itu mencakup perkataan, perbuatan juga keyakinan hati
7.Asy’ariyah plin plan dalam penetapan masalah pengkafiran. Madzhab ahlussunnah dalam hal ini adalah pengkafiran merupakan haknya Alloh yang disematkan kecuali kepada siapa yang berhak dikafirkan secara syari’at, dan tidak ragu dalam mengkafirkan terhadap sesiapa yang telah tetap kekafirannya dengan syarat-syarat penetapan yang sudah terpenuhi dan tidak adanya penghalang
8.Mereka mengatakan bahwa al Quran bukan kalam Alloh yang sebenarnya tetapi al Quran merupakan kalam Alloh sendiri
9.Sesungguhnya iman dan keta’atan dengan taufiq Alloh dan kufurlagi maksiat dengan kehinaannya,
10.Alloh tidak dapat dilihat di hari perhitungan
11.Kemampuan seorang hamba itu tidak berpengaruh pada takdirnya
12.Asy’ariyah sepakat dengan Ahlussunnah dalam perkara mizan, hari berkumpul, shiroth, syafa’at, surga dan neraka

PENUTUP
Berbicara tentang perpecahan kelompok membuat penulis mengurut dada. Bagaimana tidak, semua kepentingan, nafsu, jalan, pikiran bergulat membentuk labirin lingkaran. Sudah tidak tampak jelas lagi mana yang benar dan mana yang bathil. Tetapi Alloh memberikan rahmatNya yang luas kepada Abu Hasan Al Asy’ari, seorang da’i penyeru kepada jalan kebenaran yang lahir di Bashroh dan memiliki pengikut hingga ke seantoro bumi dengan kembali kepada seruan yang benar, kepada hakikat manhaj dien yang lurus dan paling benar, Ahlussunnah wal Jama’ah. Alloh mengeliminasi siapa penolongNya dan siapa yang disesatkannya. Teringat sebuah hadits Rosululloh bahwa barangsiapa yang mengikuti al Quran dan as Sunnah maka tidak akan tersesat selama-lamanya. Kesimpulannya adalah barangsiapa yang hidup tidak berpedoman dengan keduanya maka hidupnya akan sesat dan menyesatkan. Sehingga seorang Muslim wajib berpegang pada al Quran dan as Sunnah. Adapun perbedaan, disebabkan karena tidak berpegang pada Quran dan Sunnah. Orang – orang yang mengikuti hawa nafsu dan akal pikiran akan tersesat karena tidak berdasarkan pada Quran dan Sunnah. Contohnya seperti pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah yang lama yang belum bertaubat.
Belajar dari umat terdahulu yang selamat dan yang dibinasakan itu sangat perlu. Kita belajar, membuat kita tahu. Barangsiapa yang tidak belajar maka akan mudah mengikuti jejak umat yang binasa. ‘Ulama sudah banyak yang mengoreksi kesalahan – kesalahan pemikiran Asy’ariyah yang terdahulu. Dari mulai pemikiran tentang sifat – nama Alloh, takdir Alloh, kalam Alloh, kemu’jizatan al Quran, seperti apa iman menurut pandangan mereka, menjelekkan nubuwwah, bagaimana Asy’ariyah dalam mengambil dalil dan pandangan, penyimpangan tabi’at alam yang mereka anut, dan lain-lain. Hendaknya kaum muslimin tidak terjebak pada lubang yang sama. Kembalikan semuanya pada pemahaman ‘Ulama yang ‘aqidahnya lurus.
Berkenaan dengan faham Asy’ariyah tahun belakangan ini, sampai penulis mengangkat tulisan ini. Masih saja tersebar di kalangan masyarakat pemikiran – pemikiran Asy’ariyah yang terdahulu, sebelum Abu Hasan Al Asy’ari menulis Al Ibanah. Sebagian meragukan isi kitab tersebut dan tetap fanatik mengikuti pemahaman Abu Hasan Al Asy’ari yang dulu. Wajarlah jika saat ini, Asy’ariyah disebut-sebut sesat karena bertentangan dengan pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah.
Adapun sebagian kaum Muslimin yang salah mengidentifikasi bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah itu Asy’ariyah karena pemikiran di Al Ibanah adalah lurus. Maka saya katakan, selain kitab Ibanah pun jika itu manhaj lurus maka dapat kita katakan bahwa ia termasuk ahlussunnah wal jam’ah. Ingat! Tidak semua yang mayoritas itu lurus. Sepertinya tidak selalu mendikotomi itu wajib dan memukul rata itu haram.
Sekian.
Semoga makalah ini bermanfa’at dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Jika ada kekurangan dan kesalahan penulis tidak segan untuk menerima perbaikan.
Allohu a’lam.

Daftar Pustaka :
Dari Buku :
1.Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya. Syamil Cipta Media. Bandung: 2006
2.Muhammad Abu Zahrah, Imam, Prof. Dr. 1996. ALIRAN POLITIK dan ‘AQIDAH dalam ISLAM . Jakarta, Indonesia : Logos Publishing House
3.Al-Juhani, Mani’. Al Mausu’ah Al Muyassaroh fiel Adyan wal Madzahib wal Firoq Al Mu’ashiroh
4.Rohman bin Muhammad sa’d, Abdur. 1997. Mauqifu Ibnu Hazm min al Madzhab al Asy’ari kama fei kitabihi al Fashl fiel Milali wan Nihl. Riyadh, saudi Arabia : Dar ash Shomi’i
Dari Internet :
1.http://peaceman.multiply.com/journal/item/283/Al-Baqillani_dan_Penyimpangan_Aliran-aliran_dalam_Islam. Diunduh pada18-05-2010 pkl. 18:38
2.http://old.nabble.com/Antara-abul-hasan-Al-Asyari-dan-Asya'iroh-td25990522.html. Diunduh pada 18-05-2010 pkl.15:43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar