Bila rasa tak lagi bisa ku peram . . Bila maksud tak lagi mampu ku peta . . Bila desakan tak lagi dapat ku jeda . .

Jumat, 31 Desember 2010

HUTANKU RINDUKU

Tulisan ini kupersembahkan untuk seseorang yang telah membangkitkan kerinduanku pada masa lalu..

Tulisan ini tidak sama sekali berharga untuk mereka yang sangat mencintai kota.

Buatku, hutanlah kotaku...

16 tahun lalu, rumahku istanaku. Tidak besar. Tapi luar biasa di hatiku.

Sebuah rumah yang di hadapannya persawahan jelek (ma’af yiia yang punya sawah, tapi emang gitu kok),

sebuah rumah yang gangnya berpermadani rumput-rumput ilalang,

rumah yang di kelilingi “kolam renang” letter U..

di pekarangan rumah kami terdapat bebungaan sederhana, tanaman melon yang sempat mati kemudian diganti jadi labu. Sedihnya, aku lupa tanaman apa lagi.

Ini kali kedua aku menyesal kehilangan “kolam renang”ku karena seseorang yang telah membangkitkan kerinduanku pada masa lalu.

Di kanan kiri dan belakang rumahku, sungai.. jernih.

Ayah tidak pernah menuai bibit ikan di sana tapi di sana ada ikannya. Kami pernah sengaja memasang jala di tiga tempat itu. Hasilnya... kanan dan kiri rumahku, jala berisi beraneka warna ULAR! Ih.. aku tidak suka sama sekali dengan ular saat itu, karena ular itu menakutiku. Hewan pemangsa yang licin. Ga ada imut-imutnya sama sekali.. tapi mereka baik, tidak pernah melirik ayam-ayam kete’ kami. Ya.. aku ingat! Ayah juga pernah memelihara burung dara tapi waktu itu aku masih sangat kecil dan tidak faham. Saat aku sudah besar, burung daranya dimasak mama.. hihihi.

Kita masuk ke “kolam renang” belakang sekaligus kebun kecil kami lewat pintu kecil samping kiri rumah ya,
kebun kami letaknya pas di pinggir “kolam renang”.

Ada jembatan seadanya dari potongan batang pohon kayu galam yang menjembatani rumah dan kebun kami. Di sisinya tergantung, tanaman anggur yang tak pernah berbuah. Entah karena bunganya selalu digelayuti kumbang atau memang tanahnya yang tidak cocok atau ayah yang ga niat membudidayakannya. Hhmm, aku rasa alasan terakhir.. MA’AF ya Yaaaah..

kira2 lima langkah orang dewasa (saya anak Filmu Budaya Ya, jadi ga mau tau jarakny berapa meter) dari situ, kami menanam nanas, singkong, dan palem. Terakhir kuingat ada mangga yang baru ditanam.

Suatu hari, aku punya kemah baru. Seharian aku dan bonekaku berkemah di samping pohon palem situ.
Bermain sendiri.. hiks.. hiks.. (tapi tidak lama setelah itu aku punya tetangga trus bermain bersama anaknya) tapi sebel juga akhirnya. Sama.. NYAMUK! Ga bisa liat orang nganggur dikit main isep aje. Huh. Di situ, Aku pernah menjahili mama saat mama di pinggir kolam sebrang sedang menyiangi ikan buat makan kami. Air kolamnya aku ciprat-cipratin ke arah mama dan aku tertawa riang.. mama hanya berteriak-teriak minta aku berhenti.. aah.. romantiskaaaan?

Aku dan Mama biasa mandi dan mencuci wadah di situ tapi untuk menyiangi ikan, ada tempat yang disisihkan supaya tidak mengotori kolam.. aku juga kadang minum airnya lo.. tapi ga kenapa-kenapa tuh. Sugesti aja sih kalo minum air ga mateng itu bikin sakit perut..

Aku pernah meminta ayah supaya kolam kami dibuat kolam renang beneran tetapi ayah selalu memberiku pengertian kalau tanah dasar kolam itu tidak bisa ditimpa keramik. Aku menurut saja walaupun sambil memberengut kecewa.

Ada sesuatu yang baru terpikir olehku sekarang karena seseorang yang telah membangkitkan kerinduanku
pada masa lalu,

dulu.. mama biasa menyuguhkan makanan alam pada kami. Sayur yang dipetik dari kebun atau sayur hutan, aku pernah makan. Ikanpun kami tak perlu susah-susah (walau jenisnya cuma, ikan gabus, seluang, sapat dan pepuyu). Kalau tidak ada tukang sayur atau malas ke pasar, di sepanjang gang mau masuk rumah, sungai memanjang menggoda. Orang-orang memancing di situ, berenang di situ dan main jukung-jukungan (perahu kecil agak panjang) juga di situ.

Aku inget, dulu.. aku pengen banget ulang tahunku makanannya ala restoran gitu. Bimsalabim. Jadi! 4 tingkat kue tar dari singkong yang eyecathing bangeeet. Cemilannya ga kalah sama kentang goreng berbumbu yang kayak di stasiun UI itu looh, tapi ini juga dari singkong. Sebenarnya, yang bikin enak itu kan bumbunya yaah?! Bahan makanan sekeren apapun kalo bumbunya ga enak ya ga ada yang makan.. Jazakillah khoyroon mamiii. Love u.

Masakan kesukaanku dulu sambel goreng DAMI! Hay urang Banjar, masihkah kalian makan dami??? Dami itu adalah kulit ... eeem yah lupa namanya buah apah. Pokoknya yag sodaranya nangka itu lo. Di Ps.Minggu ada tau tapi MAmHAL. Apa sih namany! Sumpah ya w lupa.
Subhanalloh!

Rasanya benar-benar bermanfa’at untuk zaman sekarang, di saat semua kebutuhan bahan makanan mahal. Kala itu kami tinggal comot sana comot sini.

Dulu.. kami punya kebon di desa yang agak dalem dari rumah kami. Biasa dititipkan ke paman-paman yang rumahnya ga jauh dari situ. Kalau lagi tidak ada acara, sabtu dan ahad gitu. Kami kesana berbekal parang. Autan. Sepatu bot. Topi. Handuk dan makanan mengecek kebun itu. Sabat jar urang banjar (apa ya bhasa Indonya, ga bs mkr..). Ayah di depan menebasi jalan untuk kami. Eh, kadang mama ga mau ikut deng. Nyiapain makan aja di rumah orang deket situ. Mamaku kan pinteeer banget masak. Ayah dan aku yang masuk.. beeeeh! Petualangan tangguh. Di dalam pohonnya geDe-GedE, ada buah kasturi, rambutan, ampalam, dan lupa. Nah, iri kan kalian ???

:-( sekarang udah di jual. Semenjak kami pindah ke kota. Ngomong-ngomong soal kota,
sekolah ibtidaiyyahku di kota, tiap hari berkiloooooooo kiiiiiiiiiiiiilo meter aku bersepeda ke sana. Satu-satunya hal yang aku nikmati. Ya! Di jalan. Kebut-kebutan.. hhhhh. Kalau sampai jam 6 sore aku belum sampai-sampai rumah biasanya ayah langsung menjemput pakai motor dan pulangnya, aku yang masih di atas sepeda dan sepedaku ditarik ayah (dalam bahasa Banjar namanya apaa gitu..).

Kemudian, yang sangat penting nih, masjid. Tidak jauh dari rumahku, sekitar 15 menit (kalau ga kecantol tetangga di kanan-kiri jalan yaaa..) kita akan mendapati masjid besar berwarna biru. Di situ terpusat kegiatan-kegiatan kediennan. Guru iqro’ku rumahnya di belakang situ. Aah jadi kangeen..... sama anaknya (hehehe becanda cuy!)

Btw, aku inget hutan paman yang lebih hutan dari hutanku yang tiada hutan lain yang mampu menghutani hutanku dan hutan pamanku loo.. tempatnya, di Loksado. Hayoo siapa yang tau di mana itu?

Durian jatuh di pinggir jalan tinggal ambil.

Sawo depan mata tinggal petik.

Tebu di sana tinggal gigit.

Kebo samping pager tinggal sembelih.

Tanah depan rumah tinggal injek. (hahaha.. apaan coba gW)

Beberapa hari di Loksado, sangat berkesan.

Waktu kami sampai di puncak gunung, ayah mengangkatku di atas lehernya. Waaa. takuuut,

saat aku dan mama melintasi jembatan goyang dan kami mandi di kali yang batu2nya bisa saling kejar-kejaran, mama selalu menjahiliku sampai aku menangis heboh ketakutan ditinggal mama dan

saat pamanku (sekarang sudah meninggal-rohimahulloh-semoga Alloh mengampuni dosa-dosa beliau) menemaniku keliling desa, tak disangka kami bertemu anak2 laki yg sedang panjat2an pohon ketapi, “Hanna mau?” tanya paman. dengan tersenyum malu aku mengangguk. Paman menjuluk (hahh. Apaa pula ini bahasa Indonesianya.. ) sangat cekatan ketapi-ketapi tersebut. Tidak lama aku dapat merasakan dagingnya yang lembut dan sensasi kecutnya yang...yamMy bangeT.

Waktu kecil.. aku tidak pernah menikmati semua itu, aku tidak faham. Wallohi. Aku sangat ingin semua itu kembali..

Masihkah hutanku seperti dulu?

-Dikisahkan dengan gaya Alay-
:-p

1 komentar:

  1. Baguuuuuuusss
    sangat detail gambaran bumi borneo.
    aku juga pengen bikin aaaahh, hhihii
    *ikut2an :))

    BalasHapus