Bila rasa tak lagi bisa ku peram . . Bila maksud tak lagi mampu ku peta . . Bila desakan tak lagi dapat ku jeda . .

Sabtu, 25 Desember 2010

FUNGSI ISM MA’RIFAH DAN NAKIROH di dalam tafsir al Quran

Bismillah..
Pembahasan ini sebenarnya masuk pada salah satu bab tentang ‘uluumul Quran (ilmu-ilmu al Quran) atau sebutan lainnya adalah ‘uluumut tafsiir (dasar-dasar/prinsip penafsiran). Mengapa disebut demikian ? kita akan membahasnya satu persatu dengan singkat.
‘ulum adalah bentuk plural dari ‘ilmun. ‘ilm sendiri maknanya adalah al fahmu wal idrook (‘pemahaman’ dan ‘penegetahuan’). Kemudian, pengertiannya dikembangkan kepada kajian berbagai masalah yang beragam dengan standar ilmiah.
Dan yang dimaksud dengan ‘ulum al Quran, yaitu suatu ilmu yang mencakup berbagai kajian yang berkaitan dengan kajian-kajian al Quran seperti; pembahasan tentang asbabun nuzuul, pengumpelan al Quran dan penyusunannya, masalah Makkiyyah dan Madaniyyah, nasikh dan mansukh, Muhkam dan Mutasyabbihat, dan lain-lain.
Kemudian, ‘ulumul Quran ini disebut juga dengan ‘ulumt tafsir karena memuat berbagai pembahasan dasar atau pokok yang wajib dikuasai dalam menafsirkan al Quran.
Kali ini kita hanya akan fokus pada pembahasan mengenai fungsi ism ma’rifah dan nakiroh dulu.
Sebagaimana yang telah teman-teman dapat identifikasi. Ma’rifah itu definitif (tertentu) sedang nakiroh belum definitif.
Sekarang yang mungkin kita perlu ketahui, apa sajakah fungsi dari ism ma’rifah dan nakiroh tersebut khususnya di dalam ilmu tafsir al Quran.
1. Ism Nakiroh
Penggunaan ism nakiroh ini mempunyai beberapa fungsi, di antaranya :
- Untuk menunjukkan satu, seperti pada: (Yasin:20 وجاء من أقصى المدينة رجل يسعى ( . “Rojulun” maksudnya adalah seorang laki-laki.
- Untuk menunjukkan jenis, seperti: (al Baqoroh:96 ولتجدنهم أحرص الناس على حيوة (, yakni satu macam kehidupan dengan bekerja keras menuntut tambahan untuk masa depan, sebab keinginan itu bukan terhadap masa lalu atau masa sekarang.
- Untuk mewujudkan kedua-duanya (satu dan jenis) sekaligus. Misalnya ayat, “Wallohu kholaqo kulla daabbatin min ma’in” (النور : 45). Maksudnya, setiap jenis binatang itu berasal dari satu jenis air dan setiap individu (satu) binatang itu berasal dari satu nuthfah (air mani).
- Untuk membesarkan dan memuliakan,seperti,“Fa’dzanu bi harbim minalloh”( 279:البقرة ), yaitu perang (harbun) besar.
- Untuk menunjukkan arti banyak dan melimpah seperti pada ayat; “Ainna lana ajron.” (الشعراء : 41). “Ajron” di sini maksudnya upah yang melimpah. Atau untuk membesarkan dan menunjukkan banyak misalnya, “Wa in yukadzdzibuka faqod kudzdzibat rusulun min qoblika” (الفاطر :4 ) . Maksudnya, Rosul-Rosul yang mulia dan banyak jumlahnya.
- Untuk meremehkan dan merendahkan, misalnya, min ayyi syai’in kholaqoh ? “ (18عبس :). yakni, diciptakan dari sesuatu yang hina, rendah.
- Untuk menyatakan sedikit, kecil, seperti ayat, “وَعَدَ اللَّهُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ وَرِضْوَانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ -at Taubah:72-. Maksudnya, keridLoan yang sedikit dari Alloh itu lebih besar nilainya daripada surga, karena keridloan itu pangkal segala kebahagiaan.
2. Ism Ma’rifah
Adapun penggunaan ism ma’rifah, mempunyai beberap fungsi yang berbeda sesuai dengan jenis dan macamnya.
- Dengan dLomir (kata ganti) baik dLomir mutakallim, mukhothob ataupun ghoib
- Dengan ism ‘alam (nama) berfungsi untuk menghadirkan pemilik nama itu dalam benak pendengar dengan cara menyebutkan namanya yang khas; menghormati, memuliakan, seperti pada ayat : “Muhammadur rosuululloh” (al Fath:29). Atau untuk menghinakan, seperti pada ayat: ”Tabbat yada abi Lahabiw watab.” (al-Lahab : 1)
- Dengan menggunakan ism isyaroh (kata tunjuk) untuk menjelaskan bahwa sesuatu yang ditunjuk itu dekat, seperti : هَذَا خَلْقُ اللَّهِ فَأَرُونِي مَاذَا خَلَقَ الَّذِينَ مِنْ دُونِهِ بَلِ الظَّالِمُونَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ –Luqman:11-. Atau menjelaskan keadaannya dengan menggunakan isyarat tunjuk jauh, seperti : “ (وألىئك هم المفلحون (البقرة :5)”. Atau dengan maksud menghinakan, maka menggunakan ism isyarat dekat, seperti : “Wa ma hadzihil hayaatud dun_ya illa lahwun wa la’ibun” (al Ankabut:64). Atau dengan maksud memuliakan dengan memakai ism isyarat jarak jauh, seperti : “Dzalikal kitaabu la royba fieh” (al-Baqoroh:2). Atau mengingatkan (tanbih) bahwa sesuatu yang diisyaratkan itu sangat layak dengan sifat yang disebutkan sesudah ism isyaroh tersebut, misal, “ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ (3) وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ (4) أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (5
- Pema’rifatan dengan ism maushuul (kata ganti penghubung) berfungsi : Karena tidak disukainya menyebutkan nama sebenarnya untuk menutupinya atau disebabkan hal lain, seperti, Walladzi qola li walidayhi uffin lakuma” (al-Ahqof:17) dan “Wa rowadathul lati huwa fie baytiha ‘an nafsihi”(Yunus:23). Atau untuk menunjukkan arti umum, seperti : “Walladziina Jaahadu fiena lanahdiyannahum subulana”(al-Ankabut:69). Atau untuk meringkaskan kalimat, seperti : “Ya ayyuhal ladziina aamanu la takuunu kalladziina adzau musa fabarro’ahu allahu mimma qalu” (al-Ahzab:69). Kalau nama-nama orang yang mengatakan itu disebutkan niscaya kalimatnya menjadi panjang.
- Ma’rifat dengan alif lam (al) berguna; untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui, karena telah disebutkan (ma’hud dzikri), seperti pada surah an-Nur ayat 35. Atau menunjukkan sesuatu yang sudah diketahui bagi benak pendengar seperti, “Laqod radliyallohu ‘anil mu’miniina idz yubayi’uunaka tahtasy syajaroh”(al-Fath:18). Atau untuk menunjuk sesuatu yang sudah diketahui karena kehadirannya pada saat itu (al ma’huud al kudhuri) seperti “al yawma akmaltu lakum dienakum” (al-Maidah:3). Atau untuk mencakupi semuanya (istighroq al afrod), seperti : “Innal insaana lafie khusr”(al-‘Ashr:2)
Atau untuk pengecualian (al-Istitsna’) sesudahnya; untuk mencakupi segala karakteristik suatu jenis, seperti, “Dzalikal kitaab”(al-Baqoroh:2). Maksudnya, kitab yang sempurna cakupan hidayahnya, dan juga mencakup semua isi kitab yang diturunkan dengan segala karakteristiknya. Atau untuk menerangkan hakekat dari suatu jenis, seperti ayat, “Wa ja’alnaa min al-maa’i kulla syaiin hayy” (al-Anbiya’:30)

Sekian.
Semoga bermanfa’at untuk yang ingin mengambil manfa’at..
Pedoman :
1. Al Quran di maktabah Syamilah
2. Kitab Mabaahits fie ‘uluumil Quran karya Syaikh Manna’ al Qoththon, Mudiir Ma’had ‘aliy di RiyadL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar